Selasa, 01 Juli 2014

Dari Dalam Sarung


Malam itu, ayah-ibumu masih terjaga
Seperti radio peninggalan zaman orla;
Suara ibumu memecah senyap
Ia pandai bercerita
Ada saja yang keluar dari bibirnya
Dari kisah asmara seekor anjing di masa lalu
Hingga anggun angan, masa depan

Kau mungkin, saat itu, masih dalam antrian
Menunggu surat keputusan Tuhan

Ku kira..
Ayah ibumu memang harus terlena
Sebab daun kering tak akan mampu
melawan badai angin

Dari dalam sarung, dengan jantan
Ayah memintamu turun
Seraya berteriak;
“Tak mengapa, Rambu-rambu tak berlaku di samudera cinta!”                   

Jejak Musim Penghujan




Sudah tiba waktu  musim kemarau
Langkahku lindap, ragu menuju
Kakiku dibalut kengerian
Rerumput liar menjalar, mengkrubuti nalar
Basah tanah sisa musim penghujan kemarin
Merekam jejak-jejak perjalanan

Aku bukan embun
Yang kau harap segala pacet kepiluan;
Mampu ku emban
Aku bukan daun
Tak kenal musim
Dimukim kepompong kegetiran

Kesepian menyeretku
Kembali pada jejak itu
Ku amati bekas tapak kakiku
Kerontang kering
Seperti harapan;
Yang terpanggang seribu derajat celcius bara api

 Aku harus menunggu hujan baru

Di tengah terik yang membakar;
Cakrawala nurani
Aku harus tabah menunggu;
Untuk menghapus jejak itu 

Sajak Sampan Rapuh

Akulah sampan rapuh itu
Yang berlayar terkoteng-koteng
Mengair alir bersama arus takdir
Melewati parit, comberan

Seperempat abad
Sampai aku pada nadir lautan kelam
Aku hampir karam
Berdarah-darah
Dihantam badai pasang
Di keloyak kelucak ombak
Menjadi intaian
Santap makan malam buas ikan ikan


Aku tak ingin tenggelam
Aku ingin lekas bermuara ke lepas samudera
Samudera; Cinta -- Abadi bersamamu